Setelah 3 bulan menggunakan kapas filter sebagai media penyaring kotoran yang dimasukkan ke dalam Tabung-Inti, sebenarnya, hasil yang saya dapatkan sudah lebih dari cukup. Tanpa menggunakan Tabung-Inti, kebersihan bak mandi dapat bertahan hingga 2 (dua) minggu. Sedangkan dengan menggunakan Tabung-Inti, bisa bertahan hampir 4 (empat) minggu.
Meskipun bisa bertahan lebih lama, kotoran berupa debu-air berwarna kecokelatan tetap ada dan terlihat mengendap di dasar dan dinding bak mandi mulai di awal minggu ketiga. Perlahan tapi pasti, debu-air ini mempertebal endapan di seluruh area permukaan keramik.
Memang, kalau dilihat perbandingan secara kuantitas setelah perangkat LPF dipasang, jumlah debu-air dari PAM Jakarta sebenarnya telah berkurang sangat banyak. Karena, yang awalnya (tanpa filter) pengendapan terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam, kini (dengan filter) dibutuhkan waktu hingga dua minggu untuk akhirnya endapan debu-air mulai bisa terlihat dengan kasat mata. Dan pada minggu ke-4, endapan kotoran baru terlihat memiliki kesamaan dengan endapan kotoran pada air saat tanpa menggunakan filter. Walaupun demikian, keberadaan filter agak terasa “mubazir”, karena tidak bisa mengatasinya untuk jangka waktu lebih lama dari 4 minggu.
Kapasitas pengetahuan yang minim tentang tata cara mengolah air bersih, membuat saya hanya bisa mengolah air sebatas mengurangi jumlah peredaran debu air. Tidak bisa untuk melenyapkannya. Namun, masih tersisa rasa penasaran dalam diri saya. Adakah cara lain yang bisa digunakan untuk menekan peredaran debu-air lebih banyak lagi?
Mencari informasi lebih lanjut tentang media penyaring
Saat meng-googling di internet tentang media penyaring untuk filter air, saya menemukan, bahwa ada beberapa alternatif yang mungkin bisa dijadikan sebagai pilihan untuk dijadikan media penyaring “debu-air”, yaitu :
- Menggunakan pasir
- Menggunakan cartridge filter (penyaring berbahan keramik).
- Menggunakan kapas filter dengan serat kapas yang lebih rapat.
- Menggunakan batuan mineral tertentu untuk mengikat kotoran yang beredar di air sesuai dengan jenisnya.
Dari hasil meng-googling tersebut, terdapat satu informasi terkait batuan mineral untuk media penyaring air, yaitu “batu apung”. Sebuah artikel di sebuah blog, bercerita tentang pembuatan karya ilmiah mengenai filter air dengan memanfaatkan ijuk, arang batok kelapa dan batu apung sebagai bahan media penyaring. Cukup menarik, karena penulisnya merupakan salah satu anggota kelompok yang turut mengerjakan karya ilmiah. Jenjang pendidikan para anggota kelompok saat proyek / karya ilmiah itu dikerjakan adalah sekolah menengah pertama atas.
Jadi, menurut saya, jika artikel itu merupakan produk original (bukan “copas”), maka semua yang disampaikan berasal dari satu pemikiran atas pemahaman kualitas air bersih tingkat awam (dasar) dan telah diujicobakan dalam porsi pengetahuan yang sederhana. Sehingga, bisa dibilang, kepentingan tertinggi yang hendak diraih lebih menekankan atas praktek untuk memperbaiki kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Sebagaimana sama dengan awam lainnya, saya sangat terbantukan dengan cerita yang disampaikan secara sederhana dan bersifat dasar di artikel tersebut. Tinggal selanjutnya tergantung dari saya sendiri yang menentukan bisa atau tidak menerima dan mengerjakan apa yang telah di representasi kan disitu.
Memulai menggunakan bahan media penyaring
Seorang sahabat di Bogor, yang mengikuti semua cerita perkembangan menyempurnakan perangkat LPF ini, merasa simpati (lebih tepatnya iba / kasihan 😁) terhadap saya yang masih kesulitan menangani masalah debu-air. Beberapa waktu kemudian setelah saya bercerita mengenai perkembangan terakhir, dibawakannya arang batok kelapa sebanyak satu karung beras ukuran 25 kg berisi ke rumah saya. Beberapa hari tak lama sesudah itu, saya diberitahukan ada satu kardus besar berisi satu ikat ijuk di rumahnya, dimana saya bisa mengambil untuk dijadikan bahan media penyaring.
Harga kedua bahan tersebut sangat murah, hanya Rp. 35.000,- dan Rp. 10.000,-. Namun, niat untuk membantu mengadakan barang-barang itu yang tidak terbayarkan. ☺
Jadi, saya hanya tinggal mencari dan membeli sendiri batu apung untuk melengkapi bahan-bahan media penyaring yang hendak digunakan mem-filter air. Ternyata, banyak dijual di pasar tradisional. Batu apung yang diisikan penuh ke dalam satu kantong plastik kresek ukuran sedang, dihargai sebesar Rp. 25.000,-. Cukup untuk pemakaian tiga Tabung-Inti.
Saya bilas semua bahan secara terpisah dengan air bersih beberapa kali, kemudian di rendam dalam ember, lalu dijemur hingga kering. Setelah semua bahan benar-benar kering, dimasukkan ke satu unit Tabung-Inti. Mulai dari ijuk di lapisan terbawah, arang batok kelapa, batu apung dan terakhir sebagai lapisan teratas diisikan ijuk lagi. Mengapa saya membuat susunan seperti itu? Memang demikian letak susunan sebagaimana yang dicontohkan pada artikel sumbernya.
Setelah beres, kotoran yang menempel di permukaan luar tabung di bilas. Termasuk juga media penyaring dalam Tabung-Inti. Lalu, Tabung-Inti dipasang ke dalam Tabung-Filter.
Formasi terakhir perangkat LPF saat ini adalah empat Tabung-Filter dengan tiga Tabung-Inti saja yang terpasang. Satu unit Tabung-Inti berisi media penyaring berbahan organik dan dua berikutnya berisi kapas filter. Tabung-Inti unit keempat sengaja saya cadangkan.
Hasilnya…
Setelah lewat satu hari kemudian Tabung-Inti berisi bahan-bahan media penjernih air organik dipasang, air PAM yang sebelumnya berkesan bening kehijauan, berubah menjadi bening kebiruan sebagaimana warna sebenarnya dari air. Dibutuhkan waktu satu hari hingga terjadinya perubahan dikarenakan saya tidak menguras seluruh air dalam bak penampung. Sehingga, air hasil penyaringan baru bisa terlihat yang sebenarnya setelah pemakaian air di bak penampung terjadi dalam jumlah yang cukup banyak.
Dibawah ini adalah tiga foto dari subjek yang sama dari : satu gelas air mineral (kiri) dan satu gelas air hasil keluaran perangkat LPF (kanan). Maksud dibuat hingga 3 (tiga) foto adalah untuk mendapatkan gambaran perbandingan sejelas-jelasnya perbedaan tingkat kejernihan air dalam kedua gelas. Anda bisa melihat perbedaan dari siluet teralis besi di belakang kedua gelas, air mineral di kiri dan air hasil filter (LPF) di kanan.
Bagi saya, meski tidak sejernih air mineral, air hasil proses penyaringan menggunakan bahan-bahan organik ini sangat mengesankan. Mengingat sebelumnya jika tanpa arang batok kelapa, warna air sering terlihat bukan merupakan warna sejatinya.
Bagaimana dengan pengaruh batu apung dalam mengatasi debu-air?
Seperti dibawah ini hasilnya :
Saat memasuki awal minggu ketiga (gambar urutan terbawah), ada pengurangan debu-air yang menempel di permukaan dinding keramik bak mandi. Tetapi, jumlahnya tidak terlalu signifikan dengan saat sebelum menggunakan batu apung. Meskipun “hampir” tidak terlihat, namun ada perbedaan warna permukaan dinding keramik di bagian dasar pertemuan horisontal dengan vertikal. Sepertinya, debu-air berwarna coklat-karat ini memiliki fisik yang benar-benar sangat halus dengan berat jenis yang teramat ringan. Mungkin, dibutuhkan penanganan yang lebih spesifik untuk mengatasinya.
Entah hingga berapa lama bahan-bahan organik itu bisa bertahan hingga akhirnya habis terkikis di dalam air. Patokan jeda waktu yang saya gunakan untuk memeriksa perkembangan performa media penyaring dalam Tabung-Inti adalah 3 bulan. Sama seperti lama waktu men-test pemakaian kapas filter. Seandainya bahan-bahan media penyaring air organik itu hanya bisa bertahan selama 1 bulan saja, maka saya harus memikirkan dan merencanakan membuat model Tabung-Inti baru yang lebih mudah dan lebih ringkas dalam cara penggantian media penyaring.
Hasil kinerja perangkat LPF selama 4 (empat) bulan dengan menggunakan media penjernih air organik sebagaimana cerita di artikel ini, dapat anda lihat di artikel Filter Air untuk Orang Malas…
Semoga bermanfaat! 🙂
4 tanggapan untuk “LPF : Arang Batok Kelapa, Batu Apung dan Ijuk”
Komentar ditutup.