Saat mencari informasi mengenai perubahan tarif listrik efektif per 01 Desember 2015, saya menemukan istilah tariff adjustment banyak disebutkan. Secara ilmu akuntansi, tariff adjustment / penyesuaian tarif, mengartikan pada sebuah nilai / harga yang harus dikoreksi / disesuaikan kembali karena terdapat faktor eksternal yang memengaruhi setelah nilai / harga akhir selesai ditetapkan. Kemudian, saya meng-googling untuk mencari definisi pengertian dari istilah tersebut secara pemahaman pihak PLN.

Tidak ketemu! 😕

Namun, berdasarkan beberapa ulasan berita mengenai penyesuaian tarif listrik, saya mencoba menyimpulkan definisi dari istilah tariff adjustment tersebut.

Harga Pokok Penjualan (HPP)

Harga listrik Rp. 1.509,- per kWh yang ditetapkan PLN untuk kenaikan tarif kali ini, merupakan nilai yang terdiri dari ongkos PLN untuk memproduksi listrik berdasarkan harga normal dari minyak dunia, kurs mata uang dan tingkat inflasi. Termasuk juga di dalamnya keuntungan / laba penjualan yang harus diterima oleh PLN. Jadi, bisa dibilang bahwa tarif listrik Rp. 1.509,- per kWh merupakan harga pokok penjualan (HPP) murni tanpa subsidi pemerintah dari listrik per kwh yang dijual oleh PLN ke masyarakat.

Harga Penjualan setelah HPP

Karena sudah terlepas dari intervensi subsidi pemerintah, berarti besaran nilai tarif listrik per kWh yang harus kita (pelanggan) bayar tidak akan pasti selalu sama Rp. 1.509,- di setiap bulan berikutnya. Tergantung dari besaran pergerakan nilai harga pasar minyak dunia, kurs mata uang dan tingkat inflasi; yang merupakan bagian dari bahan baku untuk memproduksi listrik sebagaimana dinyatakan oleh PLN. Sehingga, setiap terjadi pergerakan nilai dari ketiga faktor tersebut, PLN akan kembali menghitungnya. Kalkulasi perhitungan akan menghasilkan satu nilai.

Nilai tersebut bisa berupa bilangan positif, negatif atau nol; yang kemudian ditambahkan ke nilai Rp. 1.509,-.

Sehingga, jika angka hasil kalkulasi bernilai :

1. positif = akan menambah nilai HPP listrik yang sebesar Rp. 1.509,-.
2. negatif = akan mengurangi nilai HPP listrik yang sebesar Rp. 1.509,-.
3. nol = tidak mengubah nilai HPP listrik yang sebesar Rp. 1.509,-.

Hasil penjumlahan antara tarif awal listrik (HPP) dengan nilai hasil kalkulasi itulah yang disebut dengan tariff adjustment.

Sumber Penentu HPP dan Tariff Adjustment

Jadi, ada perbedaan pengertian asal sumber yang menentukan besaran nilai antara HPP dengan tariff adjustment.

Nilai HPP akan tetap sama, selama belum diputuskan kembali untuk berubah menjadi lebih besar atau kecil oleh PLN sebagai pihak yang memproduksi listrik. Jadi, yang menjadi penentu nilai HPP berasal dari besaran biaya operasional yang harus dikeluarkan internal PLN dalam memproduksi bahan baku untuk menjadi listrik.

Sedangkan nilai tariff adjustment merupakan nilai HPP yang telah disesuaikan berdasarkan pergerakan harga minyak bumi, kurs mata uang dan tingkat inflasi. Jadi, penyebab yang membuat kenaikan / penurunan tarif listrik disebabkan berubahnya harga pembelian bahan baku dari pihak eksternal PLN.

Dengan demikian, setiap terjadi perubahan nilai tarif listrik mulai tahun 2016, tidak bisa diartikan sama dengan berubahnya HPP listrik Rp. 1.509,- yang dijual PLN.

Sama halnya dengan nilai tariff adjustment yang tidak selalu harus mengikuti untuk berubah berdasarkan kecenderungan pergerakan nilai dari ketiga faktor penentu tarif listrik.

Rumit ya? 🙂

Saya memilih cukup hanya dengan mengetahui mekanisme aturan main cara mendapatkan nilai tariff adjustment tersebut saja…

Karena, akan jauh lebih rumit mempersiapkan uang yang harus kita (pelanggan) bayar untuk biaya pemakaian listrik setiap bulan mulai tahun 2016. 😂

Efek Perkembangan Teknologi

Dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, kebutuhan energi listrik yang semakin besar merupakan konsekuensi yang tidak terhindarkan. Sebelum teknologi berkembang seperti saat ini, pemakaian listrik terbesar di sebuah rumah tinggal hanya terjadi pada lemari es / kulkas. Namun untuk saat ini, konsumsi listrik lemari es hanyalah bagian kecil dari konsumsi listrik pemakaian : AC, komputer (PC / laptop) dan gadget (smartphone, mifi, wifi, router, power bank dll.).

Pemakaian energi listrik untuk “menghidupkan” teknologi, akan habis dalam waktu singkat. Itu sebabnya dibutuhkan cadangan listrik berjumlah besar agar teknologi dapat tetap bertahan menyala secara berkesinambungan. Permasalahannya adalah bagaimana energi listrik yang habis terpakai dalam waktu singkat itu bisa dengan segera untuk digantikan / diisikan kembali.

Secara fisik, biaya yang diperlukan untuk memproduksi listrik tidaklah terlalu mahal. Tetapi, perangkat dan waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan dan menyimpan listrik hingga dalam kondisi siap pakai, bukan perkara mudah dan murah.

Contohnya yang paling gampang untuk dijadikan perbandingan adalah solar panel.

Bahan baku untuk memproduksi listrik yang dihasilkan solar panel memang murah. Cukup hanya membutuhkan sinar matahari saja. Tetapi, untuk saat ini, menghasilkan listrik hingga kapasitas pemakaian rumah tinggal pada umumnya, dibutuhkan perangkat solar panel dan tempat menyimpan listrik yang sangat besar. Jika dihitung, investasi solar panel untuk memproduksi listrik secara mandiri hingga mencukupi tingkat kebutuhan satu rumah tinggal pada umumnya, akan jauh lebih (sangat) mahal dibandingkan harga listrik yang kita beli dari PLN saat ini selama 25 tahun.

Oleh sebab itu, bukan hal yang mengherankan jika dikemudian hari kecenderungan harga listrik adalah semakin mahal. Semakin berkembang dan tinggi teknologi yang digunakan, maka akan semakin besar dan singkat waktu untuk menghabiskan energi listrik. Sementara, di sisi produksi, bahan baku yang bisa menghasilkan listrik berjumlah besar dalam waktu singkat semakin berkurang dan terbatas.

Jadi, ada baiknya kita lebih mengenal teknologi yang memang sesuai dan cocok sebagaimana kita butuhkan. Teknologi canggih bukan berarti pasti memiliki manfaat yang cocok untuk digunakan oleh setiap orang.

Cheers….!