Meski sekarang masih bulan Agustus 2019, pernyataan PLN beserta kementerian ESDM untuk tidak menaikkan tarif listrik selama tahun 2019, bisa dibilang sudah mendekati realisasi sepenuhnya. Bahkan, di awal tahun, tarif listrik golongan pelanggan 900VA non-subsidi diturunkan dari Rp. 1.352,- menjadi Rp. 1.300,-

Tidak terlalu signifikan jumlahnya, namun cukup terasa bagi pelanggan 900VA non-subsidi yang memiliki rata-rata pemakaian listrik besar.

Sampai artikel ini dibuat, saya belum mendapatkan informasi perkembangan terakhir mengenai status tarif listrik 900VA non-subsidi tersebut. Rasanya, masih berada di nilai Rp. 1.300,-.

Tarif listrik untuk golongan pelanggan non-subsidi rumah tinggal lainnya, nilai tarif listrik SAAT INI masih sama dengan nilai tarif listrik yang berlaku di awal tahun 2017. Tidak ada perubahan apapun. Dengan demikian, jika ada pihak/pelanggan menyatakan tarif listrik yang terus naik, maka bisa dipastikan bahwa penyebabnya adalah jumlah pemakaian listrik dari pihak/pelanggan itu sendiri. Bukan perubahan nilai tarif listrik oleh PLN.

Subsidi bagi seluruh golongan pelanggan rumah tangga?

Sekitar bulan Juni 2019, muncul isu di medsos terkait niat pemerintah untuk menaikkan tarif listrik. Isu tersebut dibantah oleh kementerian ESDM dan PLN:

 

Ada yang menarik dari berita di utas terakhir.

Kalau disimak dengan seksama, disitu disampaikan bahwa :

PLN berhak memberlakukan model tariff adjustment dalam menentukan tarif listrik. Namun tindakan tersebut tidak dilakukan karena pemerintah bersedia membayar konpensasi kerugian PLN atas keekonomian harga listrik.

Tariff Adjustment adalah cara penetapan tarif listrik yang diterapkan PLN di saat kondisi faktor eksternal (harga minyak mentah, nilai kurs dan inflasi) mulai berpengaruh dalam menentukan harga pokok produksi listrik yang nantinya harus dijual ke masyarakat.

Jadi, hal apa yang menyebabkan PLN tidak menggunakan Tariff Adjustment mulai tahun 2017 hingga sekarang (Agustus 2019) adalah dikarenakan adanya kekuatan dukungan pemerintah atas penetapan harga batu bara yang harus dijual ke PLN dan konpensasi dana atas tarif listrik terhadap pergerakan nilai faktor eksternal.

Kalau begitu, logikanya, biaya pemakaian listrik yang kita bayar mulai tahun 2017 s/d 2019 sekarang adalah nilai tarif listrik yang disubsidi pemerintah. (?)

Hal itu menjelaskan sebab mengapa tarif listrik bergeming di saat mata uang dollar Amerika yang dengan kuat menghantam Rupiah di bulan September 2018 lalu. Semua peristiwa itu terlewati dengan mudah tanpa sama sekali mengganggu PLN untuk repot segera memberlakukan ketentuan penetapan harga listrik menggunakan Tariff Adjustment.

Lalu, sampai sejauh mana tingkat perbaikan kekuatan internal PLN sesungguhnya dalam menghadapi tekanan faktor eksternal yang memengaruhi besaran nilai tarif listrik?

Black Out yang Mencerahkan

Berdasarkan kesimpulan dari utas berita di atas tadi, sepertinya, saya selama ini telah salah dan terlalu tinggi dalam menilai mengenai perbaikan kinerja internal PLN.

Black Out Jawa-Bali tanggal 4 Agustus 2019 kemarin, bisa dibilang merupakan fakta yang memperkuat kenyataan betapa besar kesalahan penilaian saya mengenai gambaran perbaikan kondisi internal PLN yang berlangsung hingga saat ini.

Namun, setidaknya, semua itu telah menjelaskan pihak mana yang sebenarnya memiliki prestasi dalam mengembangkan kekuatan infrastruktur listrik di Indonesia. Termasuk pihak yang sebenarnya berprestasi menahan kekuatan faktor eksternal penentu tarif listrik yang dijual PLN ke masyarakat.

Jadi, kita (pelanggan) memang harus tetap berusaha untuk bisa mengandalkan diri sendiri dalam penanganan masalah dan pengembangan teknologi listrik sehari-hari di rumah.

Pemerintah saja bisa dibuat kecewa oleh PLN. Padahal pemerintah-lah yang selama tiga tahun terakhir ini berkontribusi besar dalam menstabilkan nilai harga jual listrik PLN ke masyarakat.

Apalagi kita yang cuma sebagai pelanggan listrik rumahan biasa…

Semoga bermanfaat ! 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *