Seberapa besar pencapaian performa yang berhasil didapatkan dengan menggunakan Zirah Antena?
Berapa besaran arus lalulintas data dalam berinternet dengan menggunakan Zirah Antena?
Model pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang kemudian mengganjal di pikiran saya sejak Zirah Antena mulai menampakkan wujudnya.
Meski telah lama menggunakan internet nirkabel, cara mengukur kapasitas performa koneksinya secara “real” merupakan persoalan yang belum pernah dapat saya pecahkan. Sejauh mana tingkat koneksi internet yang termasuk dalam kategori kurang, sedang atau baik?
Bagaimana menjelaskan bahwa kecepatan internet nirkabel sebesar 10 Mbps yang berlangsung di rumah saya sudah bisa dikategorikan baik?
Atau sedang (biasa-biasa saja)?
Atau bahkan benar-benar buruk???
Selama kategori tingkat koneksi internet nirkabel seperti itu tidak bisa disajikan dalam bentuk angka, maka cerita eksperimen Zirah Antena juga tak ubahnya seperti sebuah dongeng belaka.
Data pemakaian Internet Nirkabel skala Nasional
Untuk mendapatkan hasil pengukuran performa satu perangkat secara nyata, maka dibutuhkan data pemakaian perangkat serupa untuk dijadikan sebagai pembanding. Karena dipasaran tidak ada perangkat komunikasi data yang menyerupai Zirah Antena, maka sulit untuk memperkirakan sejauh mana efektifitas dampaknya terhadap sinyal internet nirkabel. Jadi, mau-tidak mau saya harus menemukan data pemakaian internet nirkabel dari perangkat komunikasi data nirkabel secara umum.
Artinya, Zirah Antena akan dibandingkan dengan gabungan hasil pemakaian internet dari berbagai perangkat komunikasi data nirkabel, termasuk smartphone. Cara ini saya anggap lebih realistis untuk menemukan titik performa Zirah Antena yang lebih mendekati.
Untuk itu, saya membutuhkan data (skala nasional) kecepatan rata-rata dan kecepatan tertinggi atas pemakaian internet para pengguna dari ISP yang saya pakai, yaitu Tri.
Untuk hasil yang lebih fair, saya menggunakan dua sumber data berbeda sebagai dasar perhitungan, yaitu data dari nPerf dan OpenSignal. Data dari nPerf berupa nilai kecepatan rata-rata dari setiap provider di Indonesia, sedangkan data dari OpenSignal berupa data nilai kecepatan internet tertinggi dan terendah gabungan semua ISP di Indonesia.
Data kecepatan Internet di Indonesia
Lampiran gambar di bawah ini adalah daftar rata-rata kecepatan internet ISP di Indonesia pada tahun 2019 yang bersumber dari nPerf :
Sedangkan data yang bersumber dari OpenSignal saya ambil dari artikel yang dipublikasikan CNN tahun 2019 dimana sudah dalam bentuk rangkuman kecepatan internet dari beberapa negara. Disitu disebutkan bahwa batas tertinggi (batas atas) kecepatan “download” internet nirkabel di Indonesia adalah sebesar 18,5 Mbps. Dan, batas terendahnya (batas bawah) adalah 6 Mbps.
Saya mengartikan bahwa batas tertinggi adalah kecepatan maksimum yang bisa diraih di saat koneksi berlangsung di waktu lengang. Sedangkan batas terendah adalah kecepatan maksimum yang bisa diraih di saat koneksi berlangsung di waktu padat. Karena kedua nilai batas kecepatan memiliki karakteristik waktu pemakaian yang berbeda, saya membaginya untuk memperoleh batasan lama waktu koneksi yang lebih spesifik dalam sehari (24 jam).
Saya mengasumsikan lama waktu koneksi berlangsung padat selama 18 jam, yaitu dimana mayoritas pengguna internet pada umumnya masih terjaga atau beraktivitas (belum tidur). Sedangkan lama waktu koneksi berlangsung lengang selama 6 jam, yaitu dimana mayoritas pengguna internet dalam kondisi minim aktivitas (sudah tidur).
Dengan demikian, maka nilai rata-rata kecepatan internet di Indonesia dalam sehari menjadi :
= ((18,5 Mbps x 6) + (6 Mbps x 18)) / 24
= (111 + 108) / 24
= 219 / 24
= 9,125 Mbps per jam.
Dari 9,125 Mbps ini, bisa diperoleh nilai parameter untuk mencari batas atas dan batas bawah kecepatan internet berdasarkan kecepatan rata-rata internet dari setiap ISP di Indonesia dari data nPerf :
Default batas tertinggi = (18,5 / 9,125) = 2,03
Default batas terendah = (6 / 9,125) = 0,66
Sebagai contoh untuk mencari kisaran nilai batas kecepatan tertinggi dan terendah dari Telkomsel yang memiliki nilai rata-rata kecepatan internet sebesar 9,96 Mbps :
Batas tertinggi = 2,03 x 9,96 = 20,22 Mbps
Batas terendah = 0,66 x 9,96 = 6,57 Mbps
Jadi, jika kita internet-an menggunakan sim card Telkomsel, kecepatan internet tertinggi yang bisa dicapai di saat koneksi lengang adalah sebesar 20,22 Mbps. Sedangkan di saat koneksi padat, hanya sebesar 6,57 Mbps.
Sedangkan untuk kecepatan internet dari Tri yang dengan rata-rata 4,81 Mbps, maka kisaran nilai batas kecepatan tertinggi dan terendahnya adalah :
Batas tertinggi = 2,03 x 4,81 = 9,76 Mbps
Batas terendah = 0,66 x 4,81 = 3,17 Mbps
Dari sini, kita bisa membolak-balik susunan angka tersebut untuk mendapatkan nilai terkait kecepatan internet yang dibutuhkan berdasarkan provider jaringan internet yang kita pakai.
Kebenaran Metode Perhitungan
Sejauh mana kebenaran metode perhitungan di atas dalam menentukan tingkat kelayakan nilai kecepatan internet?
Saya menggunakan dua ISP berbeda untuk internet-an di rumah, yaitu : Smartfren dan Tri. Pada setiap gawai, saya pasang aplikasi pemantau lalulintas data (traffic internet connection monitor). Sehingga, saat setiap proses download berlangsung, akan nampak dan bisa dipantau pada layar nilai kecepatan tertinggi dan terendah dari masing-masing ISP.
Untuk Smartfren, saya pernah mendapatkan kecepatan tertinggi pada nilai 3,2 MBps (setara 25,6 Mbps). Sedangkan untuk Tri, saya pernah mendapatkan nilai kecepatan tertinggi sebesar 2,1 MBps (setara 16,8 Mbps).
Meskipun begitu, kedua nilai tersebut bukanlah nilai yang bisa dijadikan sebagai ukuran kepastian dari batas kecepatan tertinggi yang sebenar-benarnya. Karena, kedua nilai tersebut muncul saat ditengah waktu proses download sedang berlangsung saja. Bukan dari awal hingga proses download berakhir.
Sehingga untuk mendapatkan hasil dengan nilai kecepatan lebih mendekati nyata, harus menggunakan aplikasi Speed Test. Dengan aplikasi tersebut, setiap test kecepatan proses download dan upload akan dikerjakan seutuhnya dari awal hingga akhir tanpa terkecuali.
Dari situ akan diperoleh nilai kecepatan data yang berhasil ditransmisikan per detik dari setiap proses download dan upload, kemudian nilai-nilai tersebut dijumlahkan dan dirata-ratakan. Nilai hasil rata-rata itulah yang kemudian dianggap sebagai nilai “real” kecepatan internet dari perangkat yang kita pakai.
Selanjutnya, nilai hasil Speed Test yang didapat harus diperbandingkan dengan data kecepatan internet dari pihak ketiga. Dimana dalam kasus ini, saya menggunakan data kecepatan internet milik nPerf dan OpenSignal.
Dengan memperbandingkan data nilai batas atas kecepatan internet antara hasil Speed Test dan kedua sumber tersebut, kita akan mengetahui dengan jelas letak posisi nilai “real” kecepatan internet perangkat yang kita pakai tersebut masuk dalam kategori kecepatan internet tertinggi atau terendah.
Menurut saya, metode perhitungan di atas bisa mewakili dan dapat dipertanggungjawabkan tingkat kebenarannya.
Memang, banyak faktor yang menentukan nilai hasil setiap aplikasi Speed Test. Salah satunya adalah kualitas server yang menjadi target aplikasi. Oleh sebab itu, kita tidak bisa menyimpulkan kebenaran hasil Speed Test hanya dengan melakukan satu atau beberapa kali test kecepatan.
Saya mengerjakan hingga puluhan kali test kecepatan agar diperoleh hasil yang cukup “fair” untuk diperbandingkan.
Cara Penerapannya…?
Berikut ini adalah contoh soal cara yang saya terapkan untuk mengukur tingkat kelayakan kecepatan internet nirkabel di rumah.
Untuk mendapatkan data kecepatan internet, saya menggunakan perangkat lunak Speed Test yang diaplikasikan setiap hari pada Maret 2019. Tangkapan layar di bawah ini merupakan sebagian perekaman aktivitas dari hasil Speed Test :
Nilai batas tertinggi kecepatan internet dari hasil speed Test yang dapat saya capai menggunakan provider Tri adalah 10 Mbps. Berdasarkan nilai 10 Mbps tersebut, saya bisa mendapatkan nilai rata-rata dari kecepatan internet yang berlangsung di rumah, yaitu :
Kecepatan rata-rata = 10 / 2,03 = 4,93 Mbps
Dengan demikian, kecepatan internet batas atas dan bawah menjadi :
Batas atas = 2,03 x 4,93 = 10 Mbps
Batas bawah = 0,66 x 4,93 = 3,25 Mbps
Perlu saya tekankan kembali kalau perbandingan nilai kecepatan rata-rata tersebut berdasarkan kemampuan mentransmisikan data antara perangkat komunikasi data yang ada di rumah saya dengan yang dipakai oleh para pengguna Tri pada umumnya.
Jika dibandingkan dengan nilai rata-rata kecepatan pengguna Tri pada umumnya yang sebesar 4,81 Mbps sebagaimana tertera pada tabel nPerf di atas, perangkat komunikasi yang saya gunakan untuk internet-an saat itu “tampak” memiliki kemampuan “sedikit” lebih baik 0,12 Mbps dari perangkat komunikasi yang dipakai untuk internet-an oleh para pengguna sim card Tri pada umumnya.
Dengan nilai kecepatan rata-rata yang “nampak” lebih baik tersebut, sudah tentu secara otomatis menghasilkan batas atas dan batas bawah kecepatan internet yang lebih baik juga, yaitu : 10 Mbps dan 3,25 Mbps.
Namun realitanya, nilai kecepatan 10 Mbps tersebut memang termasuk dalam batas nilai default kecepatan tertinggi yang dihadirkan oleh Tri untuk penggunanya. Sehingga bisa dibilang situasi kecepatan internet seperti itu merupakan kondisi yang biasa saja dan bukanlah sesuatu yang istimewa.
Keistimewaan yang sebenarnya terletak pada perangkat Zirah Antena. Dimana sebelumnya batas atas kecepatan internet di rumah saya yang sebesar 4 Mbps, kini menjadi 10 Mbps.
Jadi…
Nah, pertanyaan yang utama adalah apakah nilai kecepatan 10 Mbps yang saya dapatkan di rumah sudah bisa dinyatakan layak?
Jawabannya tentu saja layak.
Perangkat Zirah Antena model INT-01 yang saya pakai saat itu, telah mampu meningkatkan kemampuan antena portable mentransmisikan data dari sinyal nirkabel hingga batas kecepatan maksimum yang bisa disediakan oleh Tri.
Namun ternyata situasi permasalahan internet lemot di rumah saya tidaklah semudah itu bisa terselesaikan.
Realitanya, hanya satu ISP yang mampu menghadirkan sinyal 4G secara konsisten di tahun 2019, yaitu Smartfren. Sedangkan ISP lainnya masih “tambal-sulam” antara 3G ~ 4G, termasuk ISP Tri.
Sim card Tri yang saya pakai telah sepenuhnya menggunakan teknologi 4G, maka default sinyal nirkabel yang berlaku dan bisa dipakai untuk internet-an hanya sinyal 4G. Situasi internet-an menjadi kembali “suram” setiap sinyal 4G dari Tri melemah/menghilang dan berubah menjadi UMTS atau bukan 4G. Pada situasi seperti itu, otomatis internet di rumah saya menjadi mode “no signal available”.
Itu yang menjadikan eksperimen Zirah Antena terus berlanjut dikembangkan hingga di penghujung tahun 2019 dan berakhir dengan produk Zirah Antena model INT-05 ~ Bold Bread.
Batas atas kecepatan internet dampak dari Zirah Antena model INT-05, hanya berada dikisaran 6-7 Mbps. Jauh berkurang dibanding hasil dari model INT-01 yang 10 Mbps. Namun, internet-an dengan menggunakan model INT-05, tidak pernah lagi terjadi situasi “no signal available” di rumah saya.
Tidak ada perubahan pada sim card, modem, antena portable maupun router untuk pemasangan Zirah Antena model INT-05. Semua perangkat masih sama seperti saat Zirah Antena model INT-01 dikembangkan.
Mengapa saya menggunakan data tahun 2019?
Begini alasannya :
- Data perekaman yang saya kerjakan di rumah, berlangsung pada tahun tersebut.
- Semua fakta lapangan sudah ter-verifikasi secara valid.
- Situasi aktivitas masyarakat masih berjalan normal (sebelum pandemi/ Corona).
- Belum terjadi merger antara dua provider : Indosat dan Tri.
Pada akhirnya, saya mendapatkan kalau tingkat kelayakan kecepatan internet bukan sekadar ditentukan dengan nilai tinggi-rendahnya. Tapi juga pada kualitas konsistensi dari besaran lalulintas data yang ditransmisikan. Bagian ini yang sebenarnya sulit untuk didapatkan karena dinamika jumlah pengguna internet yang aktif selalu berubah dari waktu ke waktu.
Semoga bermanfaat! 🙂