Empat bulan semenjak artikel terakhir dipublikasikan, saya menghilang sementara dari peredaran. Rencana awalnya, hendak mengujicoba dampak Bold Bread terhadap perangkat komunikasi data yang ada di rumah. Memang itu yang saya kerjakan, namun lama waktu pengerjaan uji-coba menjadi melar hingga beberapa bulan selanjutnya.
Tidak ada masalah dan tidak ada yang salah dengan tiga unit Bold Bread (Bold Bread-3, Bold Bread-6, Bold Bread-9) yang diujicobakan. Penyebab melar-nya waktu uji-coba karena saya keasyikan menikmati suasana baru dalam berinternet yang dihadirkan ketiga unit tersebut. Ketika di minggu keempat bulan Maret 2020, iseng-iseng mencoba untuk streaming LIVE tv… dan ternyata… berfungsi!
Padahal, ketika streaming LIVE MotoGP sesi terakhir musim tahun lalu (November 2019), tayangannya hanya berjalan beberapa detik saja kemudian lag.
Walau harus hanya dengan maksimum resolusi 360 dpi tetap saja ada peningkatan performa. Setidaknya hal tersebut bisa menjadi rujukan kalau tiga unit Bold Bread dari eksperimen Zirah Antena berada di jalur sebagaimana yang diharapkan.
Secara teknik komunikasi data, streaming LIVE televisi merupakan proses arus lalulintas data terberat kedua setelah Video Call. Kalau menurut saya, tidak terlalu berbeda juga sih. Keduanya memiliki kerumitan teknik tersendiri dengan cara penanganan yang berbeda pula.
Seperti misalnya : video call menjalankan proses arus lalulintas data dua arah secara aktif, tapi hanya melibatkan dua user saja. Sedangkan streaming LIVE tv hanya satu arah proses arus lalulintas data saja yang dominan, tapi melibatkan banyak user. Buffering video call sangat sempit, sedangkan streaming LIVE tv lebih toleran.
Namun pastinya, kedua teknologi streaming tersebut membutuhkan kualitas konsistensi, bandwidth dan kecepatan koneksi internet yang cukup mumpuni.
Streaming LIVE TV
Tidak ada perubahan dengan perangkat komunikasi data (router + modem USB + antena eksternal) yang saya pakai selama 6 tahun terakhir. Sehingga, seandainya terjadi peningkatan pada kualitas sinyal internet, maka tersangka penyebab satu-satunya hanyalah perangkat prototipe hasil eksperimen Zirah Antena.
Di bawah ini contoh streaming LIVE tv dari kanal milik Transmedia Corp. yang saya rekam menggunakan tablet :
Lumayan yaa… buat selevel resolusi layar 360 dpi.
Jika menggunakan ukuran standar teknologi saat ini, streaming LIVE tv bukanlah sesuatu yang luar biasa. Kita cukup membeli satu perangkat (sejenis decoder) untuk disambung ke tv, maka layanan streaming LIVE tv bisa langsung dinikmati selama kita memiliki akun (beserta kuota tentunya) internet.
Sayangnya, streaming LIVE tv bukan tujuan utama dari eksperimen Zirah Antena. Saya hanya menjadikannya sebagai salah satu tolok ukur pencapaian dari eksperimen. Sudah jelas rugi kalau itu dijadikan sebagai tujuan utama bereksperimen. Mending pasang parabola mini kalau cuma buat nonton siaran tv lokal doang sih.
Aplikasi Speed Test
Selain streaming live tv, saya juga membuat rekam jejak speed test internet secara acak menggunakan dua aplikasi speed test berbeda.
Pada aplikasi speed test pertama, diperoleh hasil tingkat kecepatan mengunduh data dikisaran sebesar 20,77 Mbps atau setara dengan 2,6 MBps.
Sementara, test pada aplikasi yang berikutnya, hanya diperoleh hasil tingkat kecepatan mengunduh data dikisaran sebesar 1,65 Mbps atau setara dengan 0,21 MBps.
Meski dijalankan dalam perbedaan waktu beberapa menit saja, kedua aplikasi memberikan dua hasil berbeda yang sangat signifikan. Bagi saya, perbedaan itu mengartikan kalau kualitas kecepatan internet tidak bisa dipastikan kebenarannya cuma dengan mengandalkan hasil testing dari satu aplikasi speed test saja.
Kita bisa menggunakan kedua nilai tersebut sebagai batas ukuran kemampuan mentransmisikan data yang bisa diraih dari perangkat yang kita pakai. Namun tidak bisa menggunakannya sebagai satu ukuran kecepatan yang pasti dalam berinternet pada umumnya.
Karena realita yang terjadi sehari-hari adalah kita tidak sendirian berinternet. Ribuan user lainnya turut beraktivitas dalam waktu bersamaan menggunakan beragam kualitas perangkat keras dengan beragam kemampuan mentransmisikan data. Menurut saya, “realita sehari-hari” merupakan “alat ukur yang sesungguhnya” kalau hendak mengukur kehandalan perangkat yang kita pakai untuk internet-an.
Ketika pandemi Covid-19 mulai merebak dan imbauan isolasi mandiri didengungkan pemerintah, saya menangkap adanya kemungkinan dalam waktu dekat akan terbentuk satu situasi minim peredaran aktivitas manusia namun maksimum dalam peredaran aktivitas arus lalulintas data. Artinya, selama beberapa waktu ke depan akan terjadi kepadatan arus lalulintas data sangat tinggi yang relatif permanen di setiap area pemukiman dan berlangsung cenderung tanpa gangguan yang berpotensi menghambat peredaran sinyal internet.
Sebuah peristiwa langka dalam sejarah kehidupan manusia modern, sekaligus ideal dimanfaatkan untuk uji-coba dampak Bold Bread terhadap kehandalan perangkat komunikasi data yang saya pakai untuk internet-an. Karena semenjak ketiga unit Bold Bread terpasang, hanya FUP dan pemadaman listrik PLN yang bisa membuat koneksi internet di rumah saya terhambat.
Berebut Bandwidth di tengah Wabah
Pandemi Covid-19 telah membuat banyak orang harus berpikir lebih kreatif memaksimalkan pemakaian internet untuk mengurangi rutinitas harian yang biasa dikerjakan di luar rumah. Situasi tersebut secara otomatis menambah arus lalulintas data secara besar-besaran hampir ke setiap lokasi pemukiman (rumah tinggal). Sehingga, kalau kita yang biasanya di rumah lancar internet-an tetiba mendadak lemot berkepanjangan, berarti ada pengguna internet lain datang mengambil alih sebagian tempat di jalur arus lalulintas data yang sebelumnya kita pakai untuk internet-an.
Hal seperti itu kecil kemungkinan terjadi pada jalur arus lalulintas data yang berkapasitas besar. Karena selain besarnya kapasitas, data yang ditransmisikan juga berlangsung lebih cepat. Dengan demikian, data dapat ditransmisikan secara berkesinambungan dalam waktu relatif singkat meski kondisi arus lalulintas data sedang padat.
Namun masalahnya, menara BTS yang memiliki perangkat komunikasi data untuk melayani pemakaian arus lalulintas data berskala besar, cenderung dibangun di area perkantoran.
Bukan tidak mungkin untuk memindahkan perangkat-perangkat tersebut ke area pemukiman. Hanya saja dibutuhkan waktu untuk mengerjakannya. Karena, berapa yang harus dipindahkan dan berapa yang harus tetap tinggal, perlu diperhitungkan dengan seksama. Akan dikerjakan pemindahan atau tidak, tetap membuat kecepatan koneksi internet berada di titik terendah dalam tenggang waktu tertentu. Dan kompetisi memperebutkan sinyal paling banyak dengan waktu paling lama akan terus berlanjut.
Tapi, memang situasi kepadatan arus lalulintas data seperti itu yang saya nantikan untuk uji-coba dampak Bold Bread.
Turunnya kecepatan internet pada titik terendah juga saya alami. Pada saat itu berlangsung, saya memerhatikan pergerakan nilai kecepatan TCP Connection cenderung statis berada di rentang nilai kecepatan normal 40 ms s/d 60 ms. Kemudian saya mendownload sembarang aplikasi dari Google Play Store untuk mengetahui sejauh mana pengaruh TCP Connection terhadap pergerakan arus lalulintas data.
Ternyata, tetap lemot. Tapi, proses download terus berjalan hingga selesai. Beberapa kali terhenti sesaat di tengah proses download. Tidak terputus (disconnected), hanya terhenti sesaat kemudian tetap berlanjut. Seperti menunggu antrian jatah tempat untuk data yang hendak dikirim selanjutnya.
Transmission Control Protocol – TCP
Lalu, apa peran dari TCP dalam proses arus lalulintas data?
Berikut definisi mengenai pemahaman TCP yang saya peroleh dari ReviverSoft :
TCP — or Transmission Control Protocol — is one of the central standards that Internet data transmission is based on. Without it, there would be no World Wide Web, no downloads, and, essentially, no Internet — at least not as we know it.
The central thing that the TCP accomplishes is to ensure that any set of data packets being transmitted to your computer is complete and consistent with what was sent. The TCP detects if any packets were lost or corrupted, requests replacement packets from the originator of the data if needed, and arranges the packets in the proper order.
Kalau diterjemahkan :
TCP atau Transmission Control Protocol merupakan standar teknologi mentransmisikan data untuk menjalankan internet. Tanpa TCP, maka tidak akan ada internet. TCP itu sendiri memiliki peran penting untuk memastikan data dalam bentuk paket telah ditransmisikan secara konsisten ke komputer kita sesuai seperti permintaan yang kita kirimkan. TCP mendeteksi jika ada paket data yang dikirimkan itu hilang atau korup, meminta penggantian paket dari tempat asal mula data tersebut dikirimkan jika memang dibutuhkan, dan mengatur ulang pengiriman paket data dengan urutan yang seharusnya.
Begitu kira-kira pengertian TCP berdasarkan terjemahan dua paragraf di atas.
Jauh sebelum pandemi dimulai, untuk keperluan menganalisa arus lalulintas data selama ber-eksperimen, saya memasang 3 aplikasi internet tools yang diinstall dari Google Play Store, yaitu : IP Widget, Network Monitor Mini dan Internet Tester.
Pada “home screen” tablet, saya pasang widget dari (1) IP Widget dan (2) Network Monitor Mini. IP Widget berguna untuk langsung mengetahui aktif-tidaknya sambungan ke provider internet setelah monitor tablet dinyalakan. Kalau memang aktif, saya jalankan aplikasi (3) Internet Tester untuk memastikan nilai TCP Connection (koneksi antar TCP) sebelum memulai internet-an. Selanjutnya, widget Network Monitor Mini berguna untuk mengetahui status arus lalulintas data selama sedang internet-an.
Nah, uraian selanjutnya adalah kronologi situasi internet-an di saat pandemi berlangsung dengan menggunakan dukungan informasi status internet yang disajikan dari ketiga aplikasi tersebut.
Sebelum PSBB diberlakukan, arus lalulintas data berjalan tanpa kendala (100 KBps s/d 300 KBps) sekalipun di jam-jam sibuk (peak hours). Nilai kecepatan koneksi antar TCP berada dikisaran 40 ms setiap sebelum saya aktif internet-an.
Sehari setelah PSBB mulai diberlakukan di Jakarta, arus lalulintas data yang sebelumnya lancar mendadak drop hingga rata-rata dikisaran 20 KBps. Dalam kondisi tersebut, saya mendapatkan faktor kecepatan koneksi antar TCP yang sebesar 40 ms “terlihat tampak” tidak ada gunanya. Dalam tingkat kepadatan arus lalulintas data yang sedemikian ekstrim, semuanya (seolah-olah) kembali ke aturan dasar, yaitu shared connection berdasarkan jenis paket kuota internet yang di beli masing-masing pelanggan.
Namun dalam situasi drop seperti itu, dengan tetap menggunakan paket kuota internet reguler, saya masih bisa beraktivitas di internet seperti saat kondisi sedang normal namun dengan kecepatan yang jauh lebih lambat. Mirip seperti internet-an menggunakan frekuensi 3G.
Keesokan hari, situasinya masih sama. Internet-an berjalan sangat lambat tapi masih bisa beraktivitas secara normal selama tidak digunakan untuk streaming. Menjelang siang, ketiga unit Bold Bread saya selimuti aluminium foil. Sekitar 5 menit kemudian, internet mulai semakin sulit untuk diakses. Koneksi antar TCP (TCP Connection) nyaris selalu gagal. Setelah satu jam dalam kondisi benar-benar kesulitan mengakses internet, selimut aluminium foil saya lepaskan dari ketiga unit Bold Bread. Tidak butuh waktu lama setelahnya, internet kembali bisa diakses sama seperti sebelum ketiga unit tersebut diselimuti aluminium foil. Kecepatan koneksi antar TCP berada dikisaran 40 ms s/d 60 ms.
Di hari ketiga, mulai ada peningkatan pada arus lalulintas data sebesar rata-rata 50 KBps. Situasi yang sama berlangsung selama 3 – 4 hari selanjutnya.
Di hari kedelapan, streaming youtube sudah bisa diakses dengan lancar. Sedangkan streaming LIVE tv masih tersendat. Ketika memasuki minggu pertama di bulan Mei 2020, akses internet mulai mendekati normal. Hingga saat artikel ini dipublikasikan, koneksi internet masih belum sama dengan sebelum PSBB diberlakukan, namun streaming LIVE tv sudah kembali lancar.
Berdasarkan kronologi di atas, saya mendapatkan gambaran yang lebih jelas peran TCP sebagaimana yang dideskripsikan ReviverSoft. Peran TCP dalam proses arus lalulintas data, porsinya hanya terfokus pada pengaturan dan kesempurnaan data yang ditransmisikan saja. Tidak berurusan dengan berapa besar jumlah data yang bisa diangkut untuk setiap kali ditransmisikan ke tempat tujuan. Namun, dengan TCP inilah kelangsungan proses arus lalulintas data bisa terjaga dari awal hingga selesai, meski dalam kondisi ketersediaan bandwidth yang sangat terbatas.
Frekuensi sinyal 4.5G
Di pertengahan bulan April 2020, saya baru “nyadar” setelah memperhatikan tayangan informasi dari akun resmi provider Tri di Twitter mengenai peningkatan kualitas jaringan menjadi 4.5G yang resmi diluncurkan per Januari 2020.
Saat itu merupakan waktu yang hampir berbarengan dengan setelah saya merampungkan pembuatan tiga unit Bold Bread (awal Desember 2019).
Pertanyaannya, apakah peningkatan kualitas koneksi jaringan Tri yang saya alami saat ini memang dikarenakan dari providernya sendiri atau benar karena pengaruh keberadaan Bold Bread?
Saya sendiri tidak merasakan realisasi dari kalimat “peningkatan kualitas jaringan menjadi 4,5G”. Di saat pandemi dimana kondisi sepi dari aktivitas sehari-hari manusia pada umumnya, semestinya, sinyal internet bisa lebih mudah dan lebih kuat peredarannya. Tetapi, apakah kata “kualitas” yang tertera memiliki artian tidak ternasuk dengan kekuatan sinyal?
Karena sampai hari ini (minggu keempat bulan Mei 2020), kondisi sinyal internet Tri di rumah saya masih tetap sama dengan 5 tahun lalu. Di dalam rumah, sinyal Tri sama sekali tidak beredar. Kalau menggunakan modem USB, harus dilengkapi dengan antena eksternal yang dipasang di luar pintu masuk rumah. Sudah pakai antena eksternal tapi nggak ada Bold Bread, maka sinyal bisa mendadak lenyap hingga berjam-jam.
Namun, inkonsistensi sinyal itu sendiri yang sebenarnya menjadi bagian terpenting dari eksperimen Zirah Antena. Kalau sinyalnya konsisten, kenapa juga saya harus repot berkepanjangan mengerjakan eksperimen Zirah Antena? Seandainya pun dipaksakan tetap bereksperimen dalam kondisi sinyal konsisten, saya tidak memiliki ukuran pencapaian atas permasalahan seperti apa yang harus diatasi/diselesaikan untuk nantinya dipakai sebagai acuan keberhasilan dari eksperimen.
Lalu, bagaimana dengan kebenaran pernyataan peningkatan kualitas jaringan menjadi 4.5G di bulan Januari kemarin yang digadang-gadang oleh Tri?
Bisa jadi memang dilakukan peningkatan kualitas jaringan, tapi apa yang membuat sinyalnya masih “ogah” beredar di dalam rumah saya, merupakan bagian yang masih perlu ditelusuri penyebabnya.
Jadi…?
Kalau dari yang saya dapatkan selama uji-coba Bold Bread berlangsung, faktor sebenarnya menjadi penentu kekuatan TCP pada aktivitas internet-an adalah kualitas antena yang kita pakai. Baik itu antena internal (yang terdapat di jeroan modem USB/handphone) maupun antena eksternal, disitulah kekuatan TCP ditentukan saat kita terhubung dengan internet. Dalam kasus ini, seandainya mutu antena yang kita pakai berkualitas rendah, maka tidak banyak pilihan yang bisa dikerjakan untuk mengatasi inkonsistensi data yang ditransmisikan.
Menggunakan mifi merupakan salah satu cara terbaik untuk memperluas dan memperkuat peredaran sinyal internet tanpa harus mengganti gawai yang kita pakai saat ini. Karena selain memiliki sifat portabilitas yang tinggi, pada umumnya, antena internal yang terpasang di jeroan mifi memiliki kualitas lebih baik dibanding antena internal handphone low-end dan sebagian besar handphone mid-end.
Hasil uji-coba dari memanfaatkan situasi selama pandemi, menjelaskan bagaimana dampak Bold Bread lebih berpengaruh kelancaran data yang ditransmisikan (TCP) namun nyaris tidak berdampak pada besaran jumlah data yang ditransmisikan (bandwidth). Dari situ saya sampai pada kesimpulan kalau fungsi Bold Bread memang hanya sebatas menjadikan area di sekelilingnya lebih ramah untuk dilalui sinyal internet. Antena eksternal maupun internal, menjadi lebih mudah dan konsisten mentransmisikan sinyal. Tidak ada peningkatan apapun terkait kekuatan sinyal dalam hal ini.
Bagaimana keberadaan Bold Bread bisa berdampak memengaruhi nilai koneksi antar TCP?
Sejak awal eksperimen Zirah Antena dikerjakan, saya menggunakan aplikasi Internet Tester untuk menguji dampak setiap bagian prototipe yang baru dirangkai terhadap sinyal internet nirkabel. Adalah nilai TCP Connection yang dijadikan parameter untuk menentukan kebenaran fungsi bagian prototipe tersebut. Jika saat uji-coba lebih banyak berdampak buruk pada nilai TCP Connection, maka rangkaian prototipe dibongkar dan dibangun kembali setelah saya menemukan kesalahan atau mendapatkan ide penggantinya.
Pada link ReviverSoft yang saya cantumkan di atas, anda bisa menemukan informasi cara memaksimalkan TCP melalui lingkungan perangkat lunak. Tentu saja yang diatur disini berada di level environment OS (Operating System) komputer, bukan level perangkat keras seperti antena. Tidak perlu menanyakan tentang bagaimana cara dan hasilnya kepada saya, karena saya sendiri belum pernah mencobanya.
Semoga bermanfaat! 🙂
penempatan antena perlu diperhatikan, pak
selama kekuatan signalnya antara -60 dBm – 80 dBm biasanya akan dapat speed yang optimal. -81 dBm -90an dBm biasanya sudah dijamin jelek lah kualitas koneksi kita
kalau di Android saya data kekuatan signal ini bisa dilihat di Tentang Ponsel -Status – Kekuatan Sinyal