Secara prinsip, pelampung-analog dan keran-berpelampung memiliki fungsi yang sama, yaitu mengotomatisasi buka-tutup aliran air pada pipa ledeng. Keduanya juga menggunakan metode yang sama untuk mengotomatisasi kapan waktu buka-tutup harus dikerjakan, yaitu berdasarkan level ketinggian permukaan air. Perangkat yang dipakai untuk mendeteksi tingkat ketinggian permukaan air, baik pelampung-analog dan keran-berpelampung, sama-sama menggunakan pelampung yang disesuaikan model dan bentuknya.

Foto : Pelampung Analog (Ball Tap)
Foto : Keran Berpelampung (Float Valve)

Sepintas, yang membedakan kedua perangkat pemipaan tersebut hanyalah model tampilan fisiknya saja. Pelampung pada pelampung-analog dipasang menjauh dari pusat keran dengan menggunakan tangkai besi cukup panjang. Sedangkan pelampung pada keran-berpelampung (warna biru) dipasang melekat pada pusat keran dengan cara disematkan.

Keduanya berfungsi dan bekerja dengan cara yang sama persis dalam membuka-tutup aliran air pada pipa. Tapi dengan syarat, harus ada kekuatan dorongan pada aliran air yang melalui kedua kerannya. Jika aliran air yang berlangsung hanya sekadar asal mengalir saja, maka bisa dipastikan hanya pelampung-analog (ball tap) yang bekerja dengan benar.

Kinerja Keran Berpelampung (Float Valve)

Hal ini baru saya ketahui setelah sebulan kemudian sejak perangkat LPF (Low Pressure Filter / Filter air bertekanan rendah) yang saya buat, dipasangi keran-berpelampung (float valve).

Foto : Keran-berpelampung (Float Valve) yang dipasang pada perangkat LPF

Distribusi aliran air PDAM Jakarta yang berlangsung hanya sekadar asal mengalir saja, membuat permukaan air di bak tanam merayap naik dengan sangat perlahan. Pelampung yang terpasang dengan cara disematkan pada float valve, tidak secara sensitif bisa merespon situasi tersebut. Akibatnya, kerja katup keran dalam mengotomatisasi buka-tutup aliran air jadi ngawur.

Terkadang, katup keran tetap terbuka meski permukaan air telah melewati dan menenggelamkan seluruh fisik float valve hingga air meluber. Dilain waktu, katup keran tetap tertutup hingga air di bak tanam menyusut habis.

Jadi, dibalik model tampilan fisiknya yang ramping, float valve tidak dapat diandalkan layaknya ball tap dalam menghadapi situasi aliran air yang asal mengalir saja.

Model dan tampilan ball tap yang terlihat usang dan ketinggalan jaman, tidak mengartikan juga sama dengan fungsi kerjanya. Pelampung ball tap yang berukuran besar, menjadikannya sangat peka dalam merespon perubahan ketinggian permukaan air. Hal tersebut menjadikan ball tap sebagai perangkat paling ideal dalam kasus mengotomatisasi buka-tutup berbagai model dan situasi aliran air.

Tapi, karena model fisik pelampungnya yang bongsor, ball tap tidak bisa dipasang masuk ke dalam pipa berdiameter 6″ seperti Tabung-Filter perangkat LPF.

Mini Ball Tap

Saya mencoba membuat pelampung berbahan paralon, berukuran mini dan bertangkai pendek yang sekiranya dapat dimasukkan ke dalam Tabung-Filter perangkat LPF.

Hasilnya seperti terlihat pada foto berikut:

Foto : Mini Ball Tap DIY yang dipasang pada perangkat LPF

Saya menamakannya mini ball tap. Sepintas, setelah beberapa hari kemudian, nampak berfungsi dengan semestinya :

Foto : Rangkaian perangkat LPF yang dipasangi Ball Tap
Foto : Penampakan Tabung-Filter PERTAMA dari dekat.
Foto : Penampakan Tabung-Filter KEDUA dari dekat.
Foto : Penampakan Tabung-Filter KETIGA dari dekat.

Namun setelah pemakaian selama seminggu sejak dipasang, baru terlihat kalau mini ball tap ini masih belum bisa dibilang sempurna. Fisik pelampung DIY tersebut terlalu berat. Tekanan hampa udara yang terperangkap di dalam pelampung, tidak cukup kuat menjadikan berat fisik pelampung menjadi lebih ringan agar bisa dengan leluasa bergerak membuka-tutup katup keran ketika permukaan air merayap naik atau turun.

Sehingga terdapat kecenderungan air meluber karena katup keran tidak bisa menutup dengan sempurna.

Hal tersebut mengartikan kalau ruang hampa udara dalam pelampung DIY harus berisi udara dengan berat jenis lebih ringan daripada udara yang beredar di sekitar. Itu sebabnya semua pelampung ball tap dibuat permanen tanpa celah. Karena tidak memiliki peralatan untuk membuat pelampung DIY yang bisa dikondisikan seperti itu, sayapun mengakalinya dengan menggunakan dua bola pingpong sebagai sarana udara bertekanan tinggi.

Foto : Mini Ball Tap diisikan dua bola pingpong.

Hasilnya sepert ini :

Foto : Mini Ball Tap SETELAH diisikan bola pingpong.

Tampak pada foto kondisi pelampung lebih terangkat di permukaan air dibanding pada foto yang sebelumnya.

Ternyata… bawaan model fisik pelampung DIY yang melebar, menjadikan katup keran tidak bisa terbuka penuh saat permukaan air menyusut. Fisik pelampung tertahan pada sambungan pipa keluaran Tabung-Inti, sehingga menyebabkan katup keran hanya terbuka sebagian saja.

Memang, meskipun masih ada air yang mengalir keluar melalui keran, jumlahnya sangat kecil dan sedikit. Masalahnya, jumlah debit air yang masuk sangat kecil itu tidak sebanding dengan jumlah debit air yang keluar / dipakai. Akibatnya, air di bak tanam terancam kosong dan kering.

Sehingga, jika saya hendak bertahan menggunakan mini ball tap dengan model ini, maka Tabung-Inti pada Tabung-Filter pertama harus dikeluarkan / dipensiunkan.

Model Mini Ball Tap versi 2

Sayapun membuat mini ball tap baru dengan model berbeda. Fisiknya lebih kecil dan hanya muat satu bola pingpong saja.

Berikut penampakannya:

Foto : Model Mini Ball Tap dengan isi satu bola pingpong.
Foto : Situasi beberapa saat model Mini Ball Tap baru dipasang untuk uji-coba.

Secara kinerja, mirip dengan model mini ball tap sebelumnya namun tanpa dua bola pingpong di dalam pelampung.

Dengan kata lain, meski model mini ball tap ini bisa bergerak leluasa membuka-tutup katup keran secara penuh, kecenderungan air meluber tetap bakal terjadi karena pelampung tidak bisa terangkat mengambang ke permukaan air.

Jadi pilihan terbaik yang saya miliki agar otomatisasi pengisian air ke perangkat LPF bisa berlangsung dengan benar, hanyalah dengan cara mengeluarkan / mempesiunkan Tabung-Inti pada Tabung-Filter pertama.

Kembali ke Mini Ball Tap versi 1, tapi…

Tiga hari kemudian sejak mini ball tap isi dua bola pingpong kembali dipasang, mur-baut yang menjadi tangkai pelampung mendadak berkarat :

Foto : Mur-Baut pelampung Mini Ball Tap berkarat.

Saya tidak tahu hal apa yang menjadikannya mendadak berkarat dalam waktu 3 (tiga hari) saja. Untuk mengatasinya, mur-baut diganti baru. Kemudian dibungkus menggunakan salotip pipa :

Foto : Mur Baut setelah dibungkus salotip pipa.

Mencoba model lain dari Float Valve

O iya… sebelum membuat mini ball tap, saya juga membeli float valve model berbeda.

Foto : Float Valve merk Invelco

Float valve tersebut sudah dicoba dan kinerjanya sama dengan kinerja float valve yang dipasang pertama. Itu yang pada akhirnya saya putuskan untuk membuat mini ball tap.

Jadi…?

Tidak semua situasi kekuatan tekanan dorongan air PDAM di rumah tinggal memiliki kemiripan dengan yang berlangsung di rumah saya. Sehingga, besar kemungkinan float valve bisa berfungsi sebagaimana mestinya jika dipasang di rumah tinggal pada kawasan berbeda.

Cerita perbandingan perbedaan antara float valve dengan ball tap di artikel ini hanyalah sekadar untuk menambah wawasan tentang alternatif cara dalam menangani distribusi air PDAM.

Semoga bermanfaat! 🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *